Ini sangat mungkin terjadi di Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, Bengkulu, yang sebagian wilayahnya bakal diubah menjadi tambang batu bara. Padahal, di sanalah habitat terakhir gajah Sumatra (Elephas maximus Sumatranus). Jika pergerakan gajah menyempit, besar potensinya mereka harus menghadapi konflik dengan manusia.
Habitat gajah Sumatra itu terancam karena PT Inmas Abadi sebagai inisiator pembangunan tambang batu bara merencanakan membangun tambang di tanah seluas 4.051 hektare. 735 hektare di antaranya masuk dalam TWA Seblat. Pada tahun 2017, PT Inmas mendapatkan Izin Usaha Pertambangan yang ditandatangani Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah.
Wajar jika pertambangan batu bara di habitat gajah Sumatra itu menuai protes aktivis lingkungan hidup. Penambangan itu akan mengancam kelestarian TWA Seblat, yang merupakan koridor pergerakan gajah Sumatra di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko. Kegiatan penambangan juga akan mengotori sumber air masyarakat, sehingga berdampak pula bagi sektor pariwisata yang telah lama dibangun secara mandiri.
Salah satu bentuk protes aktivis ialah Elephant Camp yang diadakan Forum Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Gajah Bengkulu pada 19 Agustus 2019. Pesertanya adalah para aktivis muda yang menolak keras rencana alih fungsi hutan TWA Seblat untuk kepentingan pertambangan batu bara. Mereka trekking ke dalam kawasan hutan, berinteraksi dengan gajah, serta membuat lukisan dan mural dari bahan kotoran gajah. Aktivis yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa itu juga membentangkan spanduk bertuliskan “No Coal in Seblat Landscape”.
Perlu dicatat, Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Iklim di Paris pada tahun 2015 dan berkomitmen untuk menurunkan emisi rumah kaca sebanyak 26% dari skenario business as usual pada tahun 2020. Untuk menepati janji tersebut, pemerintah harus membatasi penggunaan energi fosil, termasuk batu bara. Apalagi, batu bara diprediksi mengalami tren penurunan sebagai sumber energi di masa depan. Sebab, batu bara merupakan sumber energi penghasil emisi terbesar, yang merupakan penyebab perubahan iklim. Apakah pemerintah akan mengorbankan nasib ekosistem Seblat untuk investasi yang kurang meyakinkan untuk masa depan?
Tindakan nyata pemerintah untuk menjaga ekosistem sangat diperlukan untuk mempertahankan habitat terakhir gajah Sumatra di Bengkulu. Sebab, sesungguhnya kekayaan paling mahal adalah alam lestari, air bersih, tanah subur, dan udara segar yang tidak akan terbeli oleh materi.
(Maria Novita, Volunteers Climate Rangers, Jakarta)