Dikenal sebagai Kota Pelajar dengan tak kurang dari 350.000 mahasiswa, Yogya adalah juga kuali besar (melting pot) dari berbagai macam peninggalan budaya dan tradisi di Indonesia.

Keraton Yogyakarta yang kental dengan tradisi Islam, bersanding dengan keragaman peninggalan budaya lainnya. Tak jauh dari dari kota ini, terdapat Candi Borobudur, monumen Buddha terbesar di dunia dan Candi Prambanan, bangunan kompleks candi Hindu yang menjadi warisan budaya UNESCO. Bisa jadi, itulah yang membuat Yogya hingga kini berkembang menjadi kota yang penuh semangat anak muda yang lekat dengan keberagaman.

 

Kanekaragaman itu pula yang mewarnai acara Ngobrol Bareng Kampanye #BebasEnergiFosil, 25 Juli 2018. Acara Ngobrol Bareng Kampanye #BebasEnergiFosil ini merupakan rangkaian kegiatan kampanye dari 350.org Indonesia di beberapa kota, yaitu Yogya, Bandung, Surabaya, Malang dan Jakarta.

Bertempat di Antologi Collaborative Space, sekitar 60 anak muda hadir untuk belajar dan berdiskusi tentang bagaimana mewujudkan lingkungan dan masa depan yang lebih baik. Di dalamnya dibahas tentang bagaimana setiap orang punya peran untuk mewujudkan dunia yang bebas dari energi fosil, melalui transisi yang adil dan segera menuju 100% energi terbarukan.

 

Dihadiri dari berbagai kalangan mahasiswa dan komunitas, acara ini menghimpun sejumlah perwakilan dari lembaga kampus. Beberapa komunitas yang hadir di antaranya, Komunitas  Seni Taring Padi, Earth Hour Yogya, Yogya Garuk Sampah, Yogya Berkebun, Greenpeace Youth Yogya, Komunitas Seni Pertunjukan Sakatoya, Kelompok Muda Menginspirasi dan Youth for Climate Change (YFCC) Yogya. Perwakilan mahasiswa dari kampus seperti Universitas Gajahmada, UPN Veteran Yogya, Universitas Islam Indonesia Yogya, Universitas Negeri Yogya dan Universitas Kristen Duta Wacana juga terlibat di sana.

Dimulai oleh Anak Muda
“Banyak gerakan iklim yang dimulai dari mahasiwa,” ujar Devin Maeztri, Pengkampanye 350.org Indonesia membuka acara ini. “Salah satunya adalah adalah 350.org, yang dimulai dari kegelisahan anak muda atas kondisi perubahan iklim yang terjadi.” tambahnya.

Dampak perubahan iklim yang semakin merusak dan ada di depan mata, membutuhkan komitmen nyata, dan kendali perubahan itu ada di tangan setiap orang. “Kampanye Bebas Energi Fosil, membangun kekuatan akar rumput untuk menghadapi industri energi kotor dan mewujudkan transisi menuju 100% energi terbarukan.” kata Devin lagi. Siapa saja bisa memulai, siapa saja bisa menjadi pemimpin kampanye ini.

 

 

Informasi itu lalu membuka diskusi tentang bagaimana kampanye #bebasenergifosil dijalankan. Juga tentang bagaimana mencapai transisi yang adil dan segera untuk 100% energi terbarukan.

“Saya berasal dari Kalimantan Selatan, di mana banyak sekali masyarakat yang mengantungkan hidup dari tambang batubara.” ujar Rizka, dari Universitas Aisyiyah Indonesia. “Kalau tambang batubara harus tutup karena transisi energi, bagaimana dengan nasib masyarakat yang bekerja di perusahaan itu? tanya mahasiswi ini.

Pertanyaan itu membuat diskusi mengalir pada bahasan tentang apa yang dimaksud dengan transisi energi. Apakah dengan adanya transisi, kita memisahkan dan membuat jarak pada mereka yang bekerja pada proyek energi kotor? Sebab masih ada masyarakat Indonesia yang karena alasan penghidupan, tak bisa punya pilihan selain bekerja di sana.

Penting sekali untuk memperhatikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan untuk mewujudkan transisi menuju energi terbarukan. “Adil dalam kampanye Bebas Energi Fosil ini, meliputi semua sisi.” jawab Irfan Toni Herlambang, Pengkampanye Digital dari 350.org Indonesia. “Proses menuju 100% energi terbarukan harus mempertimbangkan para pekerja yang terdampak, memikirkan dampak paling sedikit pada alam dan lingkungan, juga menyesuaikan pada konteks budaya dan tradisi setempat.” tambahnya.

Komitmen Bersama
Walau ada beraneka pendapat, acara ini berujung pada satu pemahaman bersama. Kita  harus memulai kampanye untuk mewujudkan bumi yang aman untuk ditinggali bagi generasi mendatang. Kini yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengubah pemahaman bersama ini menjadi komitmen nyata, dan melibatkan semua orang di tingkat lokal.

“Mari kita berkampanye untuk menargetkan Yogya Bebas Energi Fosil,” ajak Devin. “Bisa dimulai dari Keraton Kesultanan yang memasang panel surya pada bangunan cagar budaya, atau stasiun kereta api Tugu yang menggunakan panel surya pada perangkat tata suara.” Saat ini mungkin tak terbayangkan, namun jika kita memulai bersama, maka Yogya menjadi perintis gerakan iklim yang digagas oleh anak muda. Bukan tidak mungkin, inisiatif anak muda kota ini membuka mata dan mendorong komitmen pemimpin di daerah untuk mewujudkan Yogya Bebas Energi Fosil.

 

 

Sebagian besar peserta yang hadir tampak tersenyum dan menganggukkan kepala tanda setuju. Kampanye ini harus dijalankan bersama, oleh siapa saja, dan di mana saja. Di akhir acara, seluruh peserta bersatu dan berseru dalam teriakan, “YOGYA, BEBAS ENERGI FOSIL!”